Jumat, 28 April 2017

Jumatan di Masjid Raya Hasyim Ashari Daan Mogot Jkt Barat





















SEJARAH ASAL USUL DELANGGU VERSI R DJOJOMARTONO

Oleh: Prijatmodjo Hadisukatno, Dipublikasikan oleh: #1 Gogor Aldi S, LembaranTerlipat.blogspot.co.id,
#2 Purwadi Madya, madyapurwadi.blogspot.com

R. Djojomartono adalah nama kakek dari pihak ayah, tinggal di Delanggu, Klaten, lebih akrab dipanggil ‘mBah Kung’ (Embah Kakung). Sejak masih timur (usia kanak-kanak) beliau menggemari wayang. Beliau juga senang membuat catatan-catatan apa yang dilihat, didengar, diketahui dan dialaminya. Catatan tersebut tertuang dalam suatu buku harian, bertulisan huruf Jawa berbahasa Jawa. Buku harian tersebut pernah diperiksa oleh seorang ahli sastra Jawa di Yogyakarta, dan dinilainya sebagai karya sastra yang cukup indah dan berbobot. Ahli sastra tersebut menilai dari rapinya tulisan dan kandungan tulisan, yang mengandung banyak hal; dari cerita wayang, babad, ilmu sosial termasuk silsilah keluarga, nasihat dan petuah, peringatan kelahiran anak dan cucu, konsep surat lamaran dan lain sebagainya.
Berikut kami nukilkan beberapa episode dalam buku harian tersebut yang menyangkut sejarah asal-usul Delanggu.
KELUARGA KYAI MERTOYUDO
MBah Kung kecil, rajin sowan ke rumah Eyangnya yaitu R.Ng. Mertodiprodjo, yang sering mendongengkan mengenai asal usul keluarga dan tanah Delanggu.
Diceritakan antara lain, tentang keluarga Kyai Mertoyudo yang tidak dapat dipisahkan dengan rangkaian sejarah Delanggu, karena peran Kyai Mertoyudo sangat menentukan terwujudnya suatu kawasan yang sekarang dinamakan Delanggu. Kyai Mertoyudo adalah anak keturunan ke-enam dari Kyai Ageng Kertopangalasan (menantu Sri Sultan Demak -?-). Oleh karena itu warga Delanggu yang asli, tidak diperkenankan memakai kain ‘wulung’ yang masih dipercaya hingga kini, demikian juga tidak boleh menanam tom (?) dan kedelai. (note: dalam buku harian tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut apa itu kain wulung dan tanaman tom serta sebab musababnya kenapa dilarang)
Keluarga Kyai Mertoyudo dengan lima suadaranya (laki-laki semua) yaitu 1. Kyai Mertomenggolo, Kuncen, Delanggu; 2. Kyai Mertodinongga, Nagan, Delanggu; 3. Kyai Mertotinoyo, Ngebong, Delanggu; 4. Kyai Mertowiyono, Gentan, Delanggu; 5. Kyai Mertogati, Sukorame, Delanggu; semuanya sakti dan digdaya. Masing-masing mempunyai anak buah yang pemberani dan perkasa.
Dapat dicermati dari silsilah yang ada (terlampir), Kyai Mertoyudo adalah juga salah satu Eyang dari mBah Kung. Beliau ber-besanan dengan KPH Djajaningrat (Pepatih Dalem Sunan PB III dan IV). Anak kedua Kyai Mertoyudo yaitu RT Mertonegoro dinikahkan dengan anak ke-empat dari KPH Djajaningrat, dan mempunyai anak perempuan yaitu RNg Mertodiprodjo, yang tak lain adalah eyang putrinya mBah Kung.
MEMBABAT HUTAN MEMBUKA LADANG DAN SAWAH
Ketika itu, Nagari Surakarta belum lama berdiri, kurang lebih baru 40 tahunan, belum ada aturan-aturan yang baku seperti sekarang. Warga pedusunan masih bertindak sendiri-sendiri, semaunya sendiri, masih rusuh dan kacau. Untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari, mereka membuka ladang dan sawah. Untuk itu mereka harus membabat hutan. Mereka yang kuat dapat memperoleh sawah/ladang yang luas. Sawah yang didapat, dinamakan “sebahu” karena diperoleh sebanding dengan kekuatan bahu (tenaga fisik), atau dinamakan pula “sebahu karya”.
Tanah “sebahu karya” dapat diperkirakan sama dengan 3-4 “bahu cengkal” (?). Sedangkan sawah ukuran satu “djrung” sama dengan 4 bahu, setelah diukur ketemu sama dengan 27 bahu (?) (note: ukuran-ukuran tersebut dikutip langsung dari buku harian, tanpa ada keterangan lebih lanjut).
Oleh karena itu, setiap “bekel” (ketua kelompok tani -?-) itu tindakannya saling berebut, adu otot, mengandalkan kerasnya tulang dan uletnya kulit. Bahkan sesekali harus dilakukan dengan jalan perang-perangan, dengan mengerahkan saudara-saudaranya dan anak buah berupa orang bayaran yang berani mati dan sakti. Siapa yang menang diangkat menjadi “bekel”. Dalam perang di kala itu, senjata yang digunakan adalah keris, pedang, “arit bapang” (arit besar/clurit -?-) dan “bandil” (alat pelempar batu, mirip dengan ketapel).
Alkisah, Kyai Mertoyudo beserta 5 suadaranya terkenal dengan kesaktiannya dan banyak pengikutnya. Apabila diantara dusun-dusun ada perselisihan dan terjadi perang, maka biasanya mereka meminta bantuan keluarga Kyai Mertoyudo guna memenangkan salah satu pihak yang berselisih. Jagoan-jagoan Delanggu itu sangat dikenal dan disegani karena sering mendapat kemenangan, hingga dijuluki “GESUL NGUMPUL – BONDOL NGROMPOL” (-?-). Wilayah pengaruhnya, di timur sampai ke Kali Bengawan Solo dan di selatan hingga wilayah Klaten.
Keunggulan-keunggulan kelompok ini telah didengar oleh pihak Karaton Surakarta. Maka Kyai Mertoyudo diberi gelar “Demang”. Sedang kelima anak lelakinya mendapat kedudukan yang terhormat dan mendapat wilayah masing-masing, yaitu :
1. RRg Resowitjitro; sebagai Mantri Gladag, Delanggu.
2. RT Mertonegaoro; diambil menantu oleh Pepatih Dalem KPA Djajaningrat dan diangkat sebagai Bupati Delanggu.
3. Kyai Resomerdjojo; sebagai Jaksa di Kartasura.
4. Kyai Demang …. (-?-); di Lumbungkerep.
5. Kyai Demang Mertosemito; di Krapyak, Delanggu.
Semua jabatan tersebut diperoleh tanpa melalui jenjang kepangkatan dan magang, namun secara langsung dengan pertimbangan keunggulan fisik dan kesaktiannya.
ASAL USUL DELANGGU
Begitulah kira-kira desa Delanggu pada awalnya. Semula hutan belantara sedikit demi sedikit menjadi persawahan dan perladangan. Di kemudian hari kawasan yang telah berubah menjadi persawahan dan perladangan ini berada dibawah wewenang Karaton Surakarta, maka kawasan ini dinamakan “Siti Pengrambe”. Sebelum disebut sebagai Delanggu seperti sekarang, sebelumnya bernama GETAS KATEGUHAN, dan kemudian berubah menjadi KRAPYAK SEWU, baru dikemudian hari berubah menjadi DELANGGU.
Sayang dalam buku harian tersebut tidak didapati keterangan mengenai arti atau asal usul kata Delanggu. Namun, dari sumber lain diperoleh keterangan, bahwa Delanggu asal katanya dari “dalan” dan “gung” atau “agung” disingkat “dalan-gung”. Mungkin mengandung makna jalan besar yang dibangun menghubungkan Surakarta dan Yogyakarta. Ada juga yang mengartikan sebagai “delanggung” yang maknanya adalah tempat/persawahan untuk para peternak menggiring itik-itik mencari makan. Sayang tidak /belum diperoleh keterangan yang lebih lengkap dan akurat.
Sejak dahulu Delanggu terkenal hasil padinya yang prima. Hasil bumi berupa padi digunakan sebagai konsumsi Kerabat Karaton. Tanah seluas itu diserahkan pengelolaannya kepada enam orang “Abdi Dalem“ (Punggawa Karaton) berpangkat Panewu, dan memperoleh gelar “Raden Ronggo”. Nama pejabatnya ditengarai dengan akhiran “tani”. Misalnya RRg Resotani, RRg Djojotani dsb. Sedangkan seorang Ronggo mempunyai bawahan berpangkat “Mantri” dengan gelar “Demang”. Nama pejabat Demang biasa diambil dari nama jenis-jenis tanaman, misalnya Demang Sri Kuning, Demang Parimenuran dsb. Seorang Mantri mempunyai bawahan “Paneket Panglawe” dengan gelar “Bekel”. Adapun seorang Panewu membawahi tanah seluas 12 djrung, dengan menanggung pasokan beras untuk negara. Beras tersebut ada dua macam, yaitu “uwos dahar” untuk konsumsi Karaton dan “uwos para” (-?-). Takaran berasnya menggunakan “tong bojog cendak” (-?-), disetor setiap bulan kepada negara.
SEJARAH SINGKAT R.Ng. PRODJOTANI
Oleh pihak Karaton, tanah Delanggu diserahkan pengelolaannya oleh anak keturunan Kyai Demang Mertoyudo, sejak RRg Djojotani (I), RRg Djojotani (II) dan RRg Djojotani (III) (lihat silsilah terlampir).
Lahir pada tanggal 23 Sapar, tahun Wawu 1793, RRg Djojotani III memangku jabatan Abdi Dalem Panewu yang membawahi Delanggu secara turun temurun (nunggak semi) sejak dari eyangnya yaitu RRg Djojotani I, diteruskan putranya RRg Djojotani II dan berlanjut kepada RRg Djojotani III. Beliau diangkat sejak tanggal 7 Jumakir, tahun Dal 1815 hingga wafatnya pada tahun 1873, sehingga total 60 tahun lamanya menjabat sebagai Panewu di Delanggu.
Dari silsilah yang dapat ditelusuri, Eyang RNg Prodjotani adalah mertua dari mBah Kung. Anaknya yang ketiga (perempuan) dinikahkan dengan mBah Kung sebagai isteri kedua setelah meninggalnya Eyang Putri garwa pertamanya mBah Kung.
Pengabdiannya dimulai sejak bertahtanya Sri Sunan Pakubuwono IX pada tahun Dal 1815. Berlanjut pada masa pemerintahan Sri Sunan Pakubuwono X tahun 1822. Karena pengabdian yang panjang dan cukup berprestasi, maka Sri Sunan PB X berkenan memberikan anugerah berupa “Ganjaran Srinugroho Pangkat 5” berwujud “Songsong Ageng” (Payung Kebesaran) sekaligus berkenan mengganti nama menjadi Raden Ngabei Prodjotani.
Dengan diterimanya “Songsong Ageng” tersebut berarti, kelak pada saat wafatnya, RNg Prodjotani akan memperoleh penghormatan dengan hadirnya wakil Karaton Surakarta dan seluruh biaya pemakamannya ditanggung oleh Karaton, apabila meninggalnya berada di dalam kota Surakarta. Sedangkan apabila meninggalnya diluar kota (dusun/kabupaten) maka Karaton hanya menanggung biaya pemakaman tanpa hadirnya wakil Karaton.
Setelah wafatnya Sri Sunan Pakubuwono X kemudian pengabdiannya berlanjut pada masa pemerintahan Sri Sunan Pakubuwono XI pada tahun 1870. Pada tanggal 25 Rabiluakir, tahun Be 1872, Sri Sunan PB XI berkenan menganugerahi penghargaan Bintang Medali Pangkat 3, sehubungan pengabdiannya serta kesetiaannya kepada negara. Dengan demikian RNg Prodjotani berhak menyandang medali tersebut pada event-event penting Karaton Surakarta, antara lain pada upacara Garebeg Idul Fitri (Syawal), Garebeg Besar (Idul Adha) dan garebeg Maulud (Sekaten).
RRg Djojotani III alias RNg Prodjotani wafat pada tanggal 23 Dulkangidah, tahun Wawu 1873 dalam usia 81 tahun. Secara keseluruhan menjabat Panewu di Delanggu selama 60 tahun dalam pemerintahan tiga Raja Karaton Surakarta yaitu Sri Sunan PB IX, PB X dan PB XI. Yang patut kita teladani dari Eyang Prodjotani adalah, kepribadian beliau yang berpegang teguh pada adat dan budaya luhur asli Jawa, selalu dalam kesantunan seharti-harinya, hingga kurang berkenan pada hal-hal yang baru/modern, yang dianggap tidak sesuai dengan tatakrama.
Dari “dongengan” tersebut, ternyata sejak dahulu kawasan Delanggu dipandang oleh pemerintahan jaman dahulu (Karaton Surakarta) sebagai kawasan yang istimewa karena suburnya dan hasil padinya yang istimewa, serta pemimpin daerahnya (Panewu) yang setia dan berhasil memimpin rakyatnya.
Demikian yang dapat kami nukil dari buku harian mBah Kung. Semoga ada manfaatnya guna menggali sejarah dan wawasan untuk kehidupan yang lebih bermakna dimasa datang. (Prijatmodjo - Jakarta, 22 Februari 2015, 26 April 2017)